DE JAVA OORLOG & MNAHASA

DE JAVA OORLOG dan kntribusi MINAHASA


Di ambil dari berbagai sumber


buku Jessy Wenas dalam Sejarah dan kebudayaan Minahasa (2007)

Belum dua dekade Perang Tondano usai, pemerintah kolonial kembali meminta orang-orang Minahasa untuk jadi serdadu demi menghadapi 


Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).


Kali ini Residen Manado Daniel Francois Willem Pietermaat mendekati tokoh-tokoh masyarakat.

Seperti dicatat Jessy Wenas, pendekatan itu sukses (2007, hlm. 51). Sebuah kontrak penyediaan 1.421 personil diteken oleh pihak Minahasa dan Belanda pada 23 Desember 1927. Orang-orang Minahasa diwakili Abraham Dotulong dan J. Kawilarang.  “Pasukan Minahasa yang disebut Tulungan (tulung=tolong bantu), tapi lebih dikenal dengan Serdadu Manado,” tulis sejarawan Jessy Wenas yang juga dikenal sebagai pencipta lagu era 1960-an. Dalam bahasa Belanda, pasukan Tulungan disebut Hulptroepen. Kenyataannya, pasukan ini adalah tenaga bantuan untuk memperkuat pasukan reguler Belanda di Perang Jawa.



Pasukan Tulungan dikomandoi Tololiu Herman Willem Dotulong yang berasal dari Sonder. Lahir di Kema pada 12 Januari 1795, usianya Tololiu 34 tahun ketika memimpin pasukan. Tololiu, kata Giroth Wuntu (hlm. 204), adalah keponakan dari kepala walak (distrik) Tonsea yang membantu Belanda dalam Perang Tondano. Jadi, kira-kira saat berumur 13-14 tahun dia sudah terlibat perang. “Konon nama H.M. Dotulong ini dijiwai oleh nama Herman Willem Daendels," masih kata Giroth Wuntu yang mantan serdadu KNIL Belanda itu.  Sebagai kepala pasukan, Tololiu dibantu tiga kapten. Masing-masing kapten ini berasal dari distrik yang menyumbang banyak serdadu. “Mereka antara lain,


Benyamin Sigar (Langouwan),

D. Rotinsulu (Tonsea), 

dan Polingkalim (Tondano),” tulis Jessy Wenas. 

Setiap kapten dibantu dua orang letnan. Para letnan yang terkenal antara lain H. Supit dan Alexander Wuisan dari Tondano; Jahanis Sangari dari Langowan; Mandagi, Palar, dan Mongula dari Tomohon. Melawan Diponegoro “Mereka berangkat dengan kapal laut ke Pulau Jawa tanggal 29 Maret 1829,” tulis Jessy. Pasukan ini datang pada tahun-tahun terakhir Perang Jawa. 

Meski begitu, mereka menambah kekuatan militer Belanda untuk terus mengejar pengikut Diponegoro yang makin terdesak. Pihak Belanda tentu terkesan. 

29 Maret 1829 mereka semua  diberangkatkan dari Benteng Nieuw Amsterdam di Wenang (Manado) menuju Sunda Kelapa (fort Batavia) kemudian ke Semarang,  lalu ke Magelang/Kedongkebo. 11 Mei 1829 mereka briefing di Magelang sebelum melancarkan serangan.

(Versi MINAHASA)

Di pertengahan Maret 1830,Kapitein Benjamin Thomas Tawalijn SIGAR berhasil menangkap Diponogoro yang konon dia dibilang orang sakti namun tidak ada apa apanya di hadapan Pasukan TULUNGEN van Minahasaland !

Pasukan TULUNGEN tetap membiarkan Diponogoro hidup karena atas permintaan Raja Mataram ato Yogyakarta.Karena Diponogoro juga masih keturunan Raja Yogyakarta.Dan berterima kasih kepada pasukan Tulungan yang telah menyelamatkan kerajaannya.

Pasukan TULUNGEN  Kemudian BERHASIL menangkap KYAI MOJO beserta 120 orang (adipati & raden) di bawa dan di asingkan ke kampung Jawa Tondano di kawal oleh Kepiten Pelealu Supit,kemudian di tangkap lagi SENTOT dan  Pengikut"nya,  Beserta PANGERAN" lain,  termasuk PANGERAN dari Banten dan Pengikutnya,  lalu diBUANG ke MINAHASA.

Di Tondano Diponogoro sempat ingin berontak dan keluar dari pengasingannya namun para waraney Minahasa berhasil memadamkan kekacauan tersebut dan Belanda mengirim Diponogoro ke makasar dan mati disana tahun 1855.

Sigar mendapatkan penghargaan lencana bintang emas kecil dan Dotulong mendapatkan penghargaan lencana 3 bintang perak besar.Namun karena Sigar kurang berpendidikan akhirnya Dotulong memanipulasi sehingga Dotulong lah yang mendapat lencana emas dan Sigar mendapat lencana perak.

Koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda kala itu De Sumatra Post (13/09/1939) menyebut: orang-orang Minahasa tentu tahan dengan iklim tropis dan kondisi apa saja. 


Tentang Tololiu Dotulong, De Sumatra Post menyebutnya sebagai seorang pria yang dikaruniai keberanian dan kebijaksanaan luar biasa, seorang pria yang selalu berhasil memimpin para prajuritnya. Intinya, mereka sangat bermanfaat. 

“Diponegoro hanya ingin menyerah kepada Pasukan Tulungan Minahasa,” tulis De Sumatra Post (12/09/1939). Selain itu koran ini menyatakan bahwa “Diponegoro berulang kali menyampaikan kekagumannya atas keberanian Mayor Sonder setelah ia dipenjara.” Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830. 

Setelahnya perang dianggap selesai. Pasukan Tulungan pulang dengan ikut merasa menang dalam Perang Jawa yang menguras kantong pemerintah kolonial Belanda. 

Baru di tahun 1833, karena desakan mantan Residen Mr.Daniel Francois Willem Pietermaat, teman dekatnya ketika bertugas di Manado, serta Residen Manado Joan Pieter Cornelis Cambier, maka di bulan April, dari Residen Cambier ia menerima medali emas serta pedang kehormatan bersepuh emas (Gouden eere-sabel). Tololiu Dotulong kelak pula menerima uang pensiun sebesar sembilan ratus gulden tiap tahunnya dengan pangkat tituler mayor. 

(Versi jawa)

Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang menggunakan taktik gerilya. Dengan dibantu oleh Kyai Mojo (Surakarta), Sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Pak-pak (Serang), Pangeran Diponegoro berhasil memberikan perlawanan yang hebat kepada Belanda.

Belanda telah menggunakan berbagai cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro namun gagal. 

Sampai pada akhirnya digunakanlah siasat licik dengan berpura-pura mengajak berunding dan berjanji akan menjaga keselamatannya. 

Namun, ternyata Belanda ingkar janji dan menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi perundingan di Magelang. 

Tanpa malu Jenderal Hendrik de Kock menangkap Pangeran Diponegoro agar perang besar di Pulau Jawa tersebut dapat segera diakhiri. Perang Diponegoro telah menimbulkan kerugian yang amat besar bagi Belanda.

Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan ditempatkan di Benteng Amsterdam. Namun, empat tahun kemudian ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.

(Versi Wikipedia)

De java oorlog


(lukisan penangkapan dipenogoro)

(Versi minahasa)


Diponegoro ditangkap dan di serahkan ke Letjen De Kock di Magelang, dan di minta untuk di asingkan di minahasa dengan pengawasan dari Hulptroepen Minahasa.

Dari minahasa, dia melakukan perjalan darat sampai makasar, dan meningkal di makasar.

(Versi jawa)



Diponegoro diundang untuk mendatangi rumah Letjen De Kock di Magelang untuk melakukan silahturahmi karena pada waktu itu hari raya ramadan, dan sesampainya di sana dia di tipu dan di tangkap di asingkan ke manado

(Versi wikipedia)

Diponegoro diundang untuk mendatangi rumah Letjen De Kock di Magelang untuk menegosiasikan akhir pertikaian dan mewujudkan kesepakatan bersama. Disana, setelah tiga jam, Diponegoro ditangkap.






Dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855 (2014), Peter Carey menjelaskan bahwa pemain utama drama penangkapan Diponegoro itu adalah perwira Belanda. Carey hanya sedikit menyinggung peran orang Minahasa.

 Setelah perang selesai, “banyak pemuda Minahasa kembali ke kampung halamannya,” 


tulis RZ Leirizza dalam Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia (1997, hlm. 42). Masih kata Leirizza, minat untuk menjadi tentara pun meningkat. Tak heran pada masa-masa setelahnya banyak orang Minahasa yang bersemangat jadi serdadu KNIL. 


Seperti Dotulong, Jesajas Pongoh mengikuti perang DE ACE OORLOG adalah salah satu legenda serdadu KNIL dengan bintang penghargaan seperti Milltaire Willems Orde. 
Tak seperti Dotulong, ia tak pernah jadi mayor. Jika pemuda serdadu bawahan makin berminat menjadi tentara, maka para perwiranya yang masih terhubung erat dengan keluarga para kepala melanjutkan hidup sebagai orang terpandang. Pemerintah kolonial tentu sangat berterimakasih kepada para kepala distrik di Minahasa.



“Terima kasih atas jasa ini kepala (distrik) Sonder berikutnya diperbolehkan memakai gelar (pangkat tituler) Mayor. Beberapa kepala lainnya juga memakai gelar ini,” tulis Mieke Schouten dalam Myth and Reality in Minahasan History: The Waworuntu-Gallois Confrontation di jurnal Archipel, Volume 34, (1987, hlm. 124). 

Tololiu Datulong pun akhirnya menjadi kepala distrik di Sonder. Dia pensiun pada 1861. Salah seorang keturunan Dotulong menjabat kepala distrik—atau Hukum Besar—bergelar mayor. 


Namanya Albertus Bernardus Waworuntu. 

Sementara itu, perwira bawahannya, Kapten Benjamin Thomas Sigar alias Tawajlin Sigar, juga akhirnya jadi kepala distrik Langowan, daerah asalnya. Makamnya tidak jauh dari Gereja Sentrum (Patung Schwarz), Langowan. Ada pula keturunannya yang pernah jadi Hukum Besar atau kepala distrik di Langowan dengan gelar Mayor. Namanya Phillip Sigar, kakek dari Prabowo Subianto. 

Kepala distrik di masa lalu sangat terpenguruh budaya Pra-Kristen. Menurut sejarawan Minahasa Roger Allan Kembuan dan Bode Tolumewo, para kepala distrik punya lebih dari satu istri (dalam satu waktu), sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen. 


Makam Tololiu Datulong berada Sonder dan pernah dikunjungi gubernur jenderal Hindia Belanda. Petilasannya juga ada di Cilincing, sebelah makam Kapitan Jonker, legenda serdadu dari Ambon.